Sastra Dalam Kepungan Warna Lokal
Oleh: DAMHURI MUHAMMAD
(Kompas, Minggu, 19 Februari 2012)
SEORANG pengamat sastra menuding warna lokal sebagai perhatian utama prosa yang muncul beberapa tahun belakangan ini, tak lebih dari sekadar kerja ornamentasi dengan memancangkan diktum dan peribahasa khas etnik tertentu dalam teks, hingga sebuah prosa memerlukan sederetan catatan kaki guna menjelaskan maksudnya. Sebutlah misalnya kumpulan cerpen Perempuan Bawang dan Lelaki Kayu (2009) karya Ragdi F Daye, yang penuh-sesak oleh ungkapan khas Minangkabau semacam “melepongkan,” ‘basilemak,” dan “manggoro.” Bila tidak merujuk pada glosarium yang terukur tentu akan membuat kening pembaca berkerut, utamanya pembaca non-Minang. Siasat literer serupa juga ditemukan dalam Bulan Celurit Api (2010) karya Benny Arnas, dengan diktum khas melayu Lubuk Linggau (Sumsel) seperti “Singup,” “Pudur,” dan “Tarup.” Begitupun diksi khas Bugis yang berseliweran dalam antologi cerpen Mengawini Ibu (2011) karya Khrisna Pabichara.
Sepintas lalu, …
(Kompas, Minggu, 19 Februari 2012)
SEORANG pengamat sastra menuding warna lokal sebagai perhatian utama prosa yang muncul beberapa tahun belakangan ini, tak lebih dari sekadar kerja ornamentasi dengan memancangkan diktum dan peribahasa khas etnik tertentu dalam teks, hingga sebuah prosa memerlukan sederetan catatan kaki guna menjelaskan maksudnya. Sebutlah misalnya kumpulan cerpen Perempuan Bawang dan Lelaki Kayu (2009) karya Ragdi F Daye, yang penuh-sesak oleh ungkapan khas Minangkabau semacam “melepongkan,” ‘basilemak,” dan “manggoro.” Bila tidak merujuk pada glosarium yang terukur tentu akan membuat kening pembaca berkerut, utamanya pembaca non-Minang. Siasat literer serupa juga ditemukan dalam Bulan Celurit Api (2010) karya Benny Arnas, dengan diktum khas melayu Lubuk Linggau (Sumsel) seperti “Singup,” “Pudur,” dan “Tarup.” Begitupun diksi khas Bugis yang berseliweran dalam antologi cerpen Mengawini Ibu (2011) karya Khrisna Pabichara.
Sepintas lalu, …